Opini tentang Teroris


PERKEMBANGAN mutakhir politik Indonesia menunjukkan bahwa agama merupakan satu intitusi politik yang paling penting dalam sistem Pancasila. Sebab, dari agamalah para politisi memusatkan atau mencari legitimasi mereka, baik secara langsung ataupun tidak. Agama dipergunakan sebagai sumber bagi ketajaman moral dan keputusan-keputusan terhadap rakyat, yang merupakan basis dari masyarakat Indonesia. (Nurcholis Madjid dalam Muhammad Hari Zamharir, 2004)
Dunia politik, sejatinya selalu diwarnai dengan klaim-klaim keimanan dan keyakinan seseorang. Klaim keberagamaan hari ini, bukan hanya sebagai pusat pencarian legitimasi. Namun destruktivitas terhadap klaim keimanan itu sendiri, dengan memberikan justifikasi teroris terhadap seseorang atau kelompok orang tertentu.
Makna Terorisme
Menurut Kamus Istilah Politik, terorisme berasal dari kata teror, dalam bahasa latin berarti ketakutan, kengerian dan kegelisahan. Kata teror dalam Kamus Basar Bahasa Indonesia (KBBI) bararti usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang dan golongan. Teroris diartikan sebagai orang yang mengunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut yang biasanya untuk tujuan politik.
Terorisme juga bermakna pengunaan kekerasan, untuk menciptakan atau mengondisikan suatu iklim kekuatan di dalam kelompok masyarakat yang lebih luas, daripada hanya pada jatuhnya korban kekerasan. Dalam perkembangannya lalu muncul suatu konsep yang memberikan pengertian, bahwa terorisme adalah cara atau teknik intimidasi dengan sasaran sistematik demi suatu kepentingan politik tertentu. (Hendropriyono, 2009)
Mungkin hal lazim bagi kita melabeli teroris, sebagai pelaku yang memandang diri dan tindakan mereka sebagai suatu yang suci dan berlandaskan pada pemahaman nilai-nilai keberagamaan. Dalam kenyatannya, pelaku teroris tidak serta merta berdalih agama. Teknik dan strategi terorisme terus berkembang dan menyesuaikan bentuknnya dengan cara-cara, ungkapan-ungkapan dan mekanisme penyampaian untuk mencapai tujuannya.
Secara universal, terorisme selalu dipandang sebagai suatu tindakan yang dilakukan kaum nasionalis, kaum separatis, militan revolusioner, Marxist, dan kususnya pengnut agama Islam Fundamentalis. Beragam motif, tujuan, sasaran, tidak jarang sengaja disponsori oleh kepentingan tertentu. Konsep tentang terorisme sebenarnya sangat beragam. Tidak ada vonis mutlak yang digunakan untuk membakukan defenisi resmi tetang terorisme hari ini. Maka konsep tentang terorisme yang berkembang di media selalu mengarah pada tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok ektrimis Islam.
Bentuk Baru Terorisme
Percayakah kita, terorisme ada dan tumbuh subur disekitar kita dengan beragam bentuk. Teroris bukan hanya mengacu pada megaterorisme global. Yang pelakunya melakukan peledakan di tempat-tempat perbelanjaan atau hotel-hotel mewah. Yang melakukan klaim “jihad” dengan mengorbankan tubuh melalui bom bunuh diri. Dalam wacana sederhana terorisme yang sebenarnya merupakan mereka yang dengan sengaja mengklaim orang atau kelompok lain sebagai teroris.
Teroris ada disekitar kita, bersingungan bahkan memonopoli pemahaman kita. Saya yakin kita mulai paham dengan siapa teroris sebenarnya. Pelaku teror boleh jadi adalah elite (pemerintah) itu sendiri. Teroris adalah orang atau sekelompok orang yang menimbulkan kecemasan dan rasa takut terhadap rakyatnya melalui kebijakan yang dibuat oleh elite. Ketika suatu kebijakan yang lahir atau dibuat menimbulkan kecemasan dan ketakutan di masyarakat, maka tentu itu merupakan teror. Pelakunya tentu disebut teroris, yakni elite. Maka, mari sebut ini sebagai teror kebijakan.
Teroris dalam wacana global seperti gambaran di atas, tentu memiliki dampak trauma jangka panjang. Namun tidak dampak fisik dan mental yang berkepanjangan. Teroris yang melakukan bom bunuh diri mungkin akan menewaskan puluhan atau ratusan orang. Dengan berbagai kerugian barang lain yang ditaksir puluhan atau ratusan juta. Orang mungkin akan senantiasa mengenangnya sebagai suatu tragedi kemanusian yang memilukan.
Tidak bermaksut menyepelekan kasus  diatas. Namun, bayangkan jika teroris itu adalah elite. Teror kebijaknnya boleh jadi bukan hanya bisa melumpuhkan kondisi ekonomi, bahkan sosial budaya, pendidikan, politik bahkan kondisi psikologis masyarakat.
Teror Kebijakan
Kita mungkin tidak lupa, atau setidaknya pernah diingatkan bagaimana rezim Orde Baru (Orba) berkuasa. Bukan hanya kebebasan berekspresi yang dibungkam. Namun juga berbagai tidakan baik itu acaman bahkan pelanggran HAM berat terjadi. Pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, hingga insiden penembakan empat mahasiswa Tri Sakti tujuh belas tahun lalu. Teror ini masih menjadi luka mendalam yang akan selamanya dikenang. Sulit memungkiri karna ini adalah luka warisan. Akan senantiasa berjajar rapi dalam buku-buku sejarah.
Kebijakan politik agrarian pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono misalnya tidak hanya abai terhadap kebutuhan rakyat akan tanah dan sumber daya yang terkandung didalamnya, tetapi malah lebih mendukung pemilik modal besar yang menguasai lahan tanpa batas. Sejumlah regulasi yang dikeluarkan SBY juga menunjukkan ketidak berpihakan pemerintah terhadap rakyat. Liberalisasi beberapa undang-undang sektoral, seperti UU Sumber Daya Air, UU kehutanan dan UU Perkebunan jauh dari semangat pembaruan agraria. (Kompas.com, 18/07/2011)
Di era pemerintahan Jokowi juga tidak terlepas dari kritik. Teror kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan kenaikan Tarif  Dasar Listrik (TDL) dan pencabutan subsidi listrik bagi golongan tertentu. (Sindonews.com, 05/03/2015) Masyarakat sangat kalang kabut menyesuaikan kebutuhan dengan harga BBM yang semakin mahal.
Teror Kebijakan Daerah
Teror kebijakan ternyata tidak hanya terjadi ditingkat pemerintah pusat. Namun juga di Aceh sendiri. Himbauan tetang larangan duduk mengangkang yang pernah dikeluarkan pemerintah kota Lhokseumawe beberapa waktu lalu. Dan baru-baru ini yang paling menghebohkan adalah pembentukan qanun Kemaslahatan dan Ketertiban Umum. Salah satu poin yang diatur dalam tersebut adalah pemisahan ruang belajar antara putra dan putri dari tingkat SLTP hingga perguruan tinggi. (Aceh.tribunnews.com, 05/05/2015)
Saya rasa, kita mungkin akan sama-sama setuju dengan kebijakan ini. Jika, setidaknya setiap kebijakan lahir dengan perencanaan serta analisis yang matang. Sosialisasi dini serta berefek terhadap kemaslahatan umat.  Saya juga yakin, boleh jadi ini itikad baik pemerintah terhadap terlaksananya syariat islam secara kaffah di Aceh.
Tapi saya tidak dapat memungkiri, kita akan sama-sama kecewa jika pada akhirnya, setiap kebijakan hanya lahir untuk tujuan kelompok tertentu saja. Paling menyakitkan lagi, ketika agama dikait-kaitan untuk membuat satu legitimasi dan pelegalan tindakan seseorang atau sekelompok orang. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan.  Kebijakan yang lahir selalu saja menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat. Bagi yang kontra, boleh jadi memandang kebijakan ini sebagai suatu teror.
Dalam konsep sederhana di atas, teror disini, sesuatu menimbulkan kecemasan. Yang akhirnya berdampak pada konflik vertikal antara pemerintah dengan masyarakat. Di sisi lain sudah lazimnya perbedaan pandangan antara yang pro dan kontra selalu berakhir dengan konflik horizontal sesama masyarakat. Inilah pada akhirnya menimbulkan teror baru. Maka siapa yang sebenarnya layak disebut teroris? Wallahualam!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Simple Presest, Simple Past, And Simple Future

analisis lirik lagu Indonesia yang bercerita tentang Indonesia

Wawancara Koperasi Simpan Pinjam Arthamas Depok